SEMUA pihak, mulai mubalighnya, perangkat desa, pemerintah dan masyarakat, hendaknya turun tangan dalam menghadapi musibah terbakarnya hutan di Gunung Lawu, Magetan, Jawa Timur, beberapa waktu lalu (18/10), yang menewaskan 12 orang dan 1 kritis.
“Semua pihak, khususnya mubaligh, tokoh masyarakat hingga pemerintah, hendaknya memberi pemahaman tentang agama yang benar, agar masyarakat di sekitar Gunung Lawu kembali pada ajaran yang benar. Jika pemahaman masyarakat tentang takdir dan musibah keliru, bisa-bisa jatuh pada kemusyrikan. Sudah jatuh ketiban tangga pula.”
Demikian dikatakan dai dan pengajar di Pesantren Isy Karima, Karang Pandan, Ustadz Muhammad Syaifuddin yang ditemuiIslampos usai shalat Istisqa di kediaman warga dusun Cemoro Sewu, Kabupaten Magetan, Jawa Timur.
Menurut Ustadz Syaifuddin, bencana keimanan itu lebih berbahaya daripada kebakaran hutan. Bencana keimanan yang dimaksud, misalnya, setiap tanggal 1 Syuro, selalu diadakan tradisi di Keraton Solo, yang menjadikan Kiai Slamet (kerbau bule) untuk diambil berkahnya. Masyarakat menyakini kotoran kerbau bule itu berguna untuk pelaris dan pesugihan.
“Kotoran kerbau yang disimpan di dompet diyakini bisa membuatnya kaya. Jika ingin awet muda, kotoran kerbau itu dilumuri ke muka. Tentu, tradisi ini tidak sesuai dengan ajaran Islam,” ungkap Syaifuddin.
Tradisi lain yang diyakini masyarakat adalah mengadakan ritual-ritual kemusyrikan di Gunung Lawu.
Perlu diketahui, Gunung Lawu adalah gunung yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar terutama penduduk yang tinggal di kaki gunung.
Tidak heran, kata Ustadz Syaifuddin, bila pada bulan-bulan tertentu seperti bulan Syuro penanggalan Jawa, gunung ini ramai didatangi oleh para peziarah terutama yang datang dari daerah sekitar kaki Gunung Lawu, seperti daerah Tawamangu, Karanganyar, Semarang, Madiun, Nganjuk, dan sebagainya.
“Mereka sengaja datang dari jauh dengan maksud meminta keselamatan dan serta kesejahteraan hidup di dunia,” ujarnya.
Lokasi kunjungan para peziarah, terutama tempat yang dianggap keramat, seperti petilasan Raden Brawijaya yang dikenal oleh mereka dengan sebutan Sunan Lawu. Selain itu Sendang Derajat, Telaga Kuning, dan sebagainya.
Kemudian, tradisi lainnya adalah Jamasan, yakni mencuci pusaka keris keraton setiap malam 1 Syuro dan berbagai tradisi lainnya yang dianggap budaya.
Di bulan Syuro (1 Syuro), warga menganggap tabu menikah di hari Syuro. Masyarakat meyakini, menikah di hari Syuro akan mendatangkan kesialan atau bencana.
“Alasannya, masyarakat tidak boleh menandingi Nyi Loro Kidul yang menikahkan anakknya yang bernama Nyi Blorong,” tambah Ustadz Syaifuddin ini.
Hingga saat ini, lanjut dia, masih banyak masyarakat meyakni hal itu. Larangan untuk menikah di hari Syuro terlihat, tak ada warga yang menyewa sound system untuk pesta pernikahan.
“Jika di bulan Zulhijah baru banyak yang mengadakan hajatan,” terang Ustadz Syaifuddin.