Pembunuh Nomor Satu di Indonesia itu Ganti Nama Jadi BPJS

Lucu atau Menyedihkan? Obrolan Residen Sehabis Jaga.

Petugas : “Dok plafon pasien ini sudah habis untuk di UGD. Dokter harus pilih antara pesan EKG atau foto Thorax.”
Dokter : “Apa ga bisa dua duanya diperiksa?”
Petugas : “Bisa dok, asal dokter buat protokol terapinya dulu.” (Saat pasien dah numpuk, laporan blum beres).
Dokter : EKG saja kalo begitu
Kesimpulannya : Infark Miokard (Serangan Jantung) dengan ST Elevasi (STEMI, onset 3 jam).
Dokter : (setelah menyingkirkan kontraindikasinya) – Kasih Streptase
Petugas : Dok obatnya tidak ada.
Konsulen Jaga : Masa iya obatnya tidak ada di RSHS!! Cari!

Ternyata setelah konfirmasi ulang ya, memang obatnya tidak ada sejak awal tahun.

GILA, bayangkan sebuah rumah sakit pusat rujukan Jawa Barat tidak memiliki Streptokinase, fibrinolitik yg berpotensi dapat menyelamatkan nyawa dan memperbaiki keluaran pada kasus2 serangan jantung – jika diberikan CEPAT.

Setelah diselidiki ternyata obat-obat mahal kini banyak yg tidak tersedia di RS. Semua ganti generik, padahal tidak semua obat ada generiknya. Untuk streptokinase saja harganya sekitar 5 juta, sementara plafon untuk infark miokard (sedang) di RS kelas A sebesar 11,6 juta. Kalo setengahnya habis untuk streptokinase, bagaimana sisanya?

Jika di Rumah Sakit pusat rujukan saja obat ini tidak tersedia, apalagi di Rumah Sakit daerah. Jadi bagaimana caranya negara ini mau memberikan pelayanan kesehatan yg cukup untuk kegawatan kardiovaskular?

Sementara penyakit kardiovaskular saat ini telah menjadi pembunuh nomer satu di Indonesia?? Note : di Luar negeri obat ini sudah tersedia di Ambulan sehingga bisa diberikan secepatnya jika ditemukan kasus infark miokard.

Oya, mulai hari ini sesuai surat edaran bu Menteri Kesehatan Obat yang biss kami berikan dibatasi, sisanya silahkan ambil di Apotik khusus BPJS. Tapi ternyata obat yg diresepkan banyak yg tidak ada.

Maaf ya kami tidak buka hotline khusus penggantian obat. Pekerjaan sekarang saja dah banyak. Maaf, silahkan selesaikan dengan petugas BPJS.

Pemerintah ingin menghemat tapi ingin terlihat perduli rakyat dan “berhasil” memberikan jaminan sosial yang dijanjikan sejak lama. BPJS diberi anggaran rendah tapi takut rugi, jadinya lahirlah skema pembayaran yang absurd dengan tujuan menekan pembiayaan kesehatan serendah-rendahnya.

Rumah Sakit ngga bisa menolak dan karena takut gulung tikar dibuatlah banyak aturan yang menyulitkan dokter & juga pasien.

Jadi? Mau tertawa karena aturan baru ini begitu absurd diluar akal sehat, atau menangis karena dianggap pekerja kasar yang dipaksa bekerja dibawah standar medis untuk sebuah perusahaan bernama BPJS yang Buat Praktisi Jadi Sesat?

Kalo begini caranya nanti yang menjadi pembunuh nomer satu di Indonesia itu ganti nama jadi BPJS.