Di Indonesia makin mahal. Hal itu lantaran tidak ada regulasi yang mengatur harga eceran tertinggi untuk obat generik bermerek maupun obat paten.
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Muhammad Syarkawi Rauf menyampaikan hal itu di kantor Wakil Presiden di Jakarta seperti ditulis Selasa (15/12/2015). Laporan soal harga obat di Indonesia makin mahal itu telah disampaikan ke Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) agar dapat ditindaklanjuti.
"Kami melaporkan hasil kajian dan investigasi KPPU terkait dengan permasalahan harga obat di Indonesia yang sangat mahal," kata Syarkawi.
Syarkawi menuturkan, harga obat di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan di Malaysia. Alasannya, di Indonesia tidak ada regulasi yang mengatur harga eceran tertinggi untuk obat generik bermerek maupun obat paten.
Dia menuturkan, regulasi tersebut harus ada sehingga industri obat di Indonesia tidak menetapkan sendiri harga obatnya.
"Harusnya ini ada regulasinya. Misalnya, untuk obat generik bermerek maksimum harganya itu adalah 2 kali dari harga generiknya. Atau harga obat patennya maksimum katakanlah tiga kali atau empat kali dari harga obat generiknya," jelas Syarkawi.
Solusi KPPU
Untuk mengatasi mahalnya obat di Indonesia, KPPU menyarankan agar pemerintah memanfaatkan kebijakan yang diberikan oleh World Trade Organization (WTO) dalam bentuk Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (Trips).
"Kebijakan itu untuk memproduksi obat-obat paten atas nama kepentingan nasional untuk pemanfaatan oleh pemerintah sendiri," ujar Syarkawi.
Kebijakan itu telah diterapkan di India, China, danThailand. Indonesia, kata Syarkawi, sebenarnya sudah pernah memanfaatkan TRIPS flexibility pada 2002 dan 2012. Sayangnya, penerapannya masih terbatas di 2 jenis penyakit, yaitu HIV/AIDS dan hepatitis.
"Kami berharap Pak Jokowi dan Pak JK mau membuat semacam langkah yang lebih kuat sehingga obat-obat paten yang harganya sangat mahal itu bisa diproduksi atas nama penggunaan oleh pemerintah. Nah sehingga dengan mengubah perpres itu," tegas Syarkawi.
Syarkawi juga meminta adanya perubahan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) agar apoteker dapat memberikan pilihan obat pada pasien. Selama ini, obat hanya dapat dibeli melalui resep dokter.
"Misalkan selama ini kita diperhadapkan terhadap pilihan-pilihan obat yang diresepkan oleh dokter, nah kemudian masuk ke apoteker. Kemudian apoteker sendiri tidak punya pilihan untuk memberikan pilihan-pilihan obat kepada pasien," tandas Syarkawi.